Sorry, this entry is only available in ID.
Perjalanan advokasi anggaran di Indonesia berawal dari maraknya gerakan anti korupsi, tepatnya sejak dimulainya era otonomi daerah pada tahun 2000. Korupsi yang awalnya sentralistik pun ikut bergeser ke provinsi dan kabupaten/kota. Lembaga eksekutif dan parlemen daerah menjadi sarang korupsi. Perlawanan terhadap korupsi inilah yang menjadi agenda awal para pegiat advokasi anggaran, seiring dengan pemberlakuan desentralisasi fiskal. Selanjutnya advokasi anggaran bergeser untuk menakar alokasi anggaran dalam pemenuhan hak dasar sekaligus mendorong proses penganggaran yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Buku yang sedang Anda baca ini berusaha mendokumentasikan pengalaman para pegiat advokasi anggaran ketika berurusan dengan berbagai kasus korupsi dan pengelolaan anggaran daerah yang buruk. Cakupan pengalaman yang direkam dalam naskah ini cukup luas. Laporan Seknas Fitra, Tiada Kata Cukup? misalnya, menunjukkan advokasi anggaran tidak lepas dari aspek peraturan dan perundang-undangan
Pada bagian yang lain, PATTIRO Malang membagi pengalaman mereka mendorong pembentukan dan implementasi anggaran daerah yang berorientasi pemenuhan hak dasar warga negara, khususnya pendidikan. Pengalaman advokasi mereka dapat disimak pada artikel Meraih Hak atas Pendidikan Melalui BOSDA.
Pemenuhan hak atas kesehatan juga menjadi sasaran gerakan advokasi anggaran. Kemendesakan isu ini menyedot banyak sumber daya organisasi-organisasi masyarakat sipil, salah satunya adalah Perkumpulan Inisiatif, Bandung. Upaya mereka menyusun landasan kebijakan anggaran yang menjamin akses kepada layanan kesehatan yang murah tertuang dalam
Sehat Itu Murah dan Mudah. Peraturan Daerah tentang jaminan kesehatan itu diharapkan menjadi starting point agar layanan kesehatan bagi warga miskin murah dan mudah dijangkau.
Dari sekian banyak permasalahan kesehatan di Indonesia, kesehatan reproduksi perempuan dan anak menjadi bagian yang cukup menonjol. Angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, berbagai kasus anak kurang gizi (bayi lahir dengan berat badan rendah) melatarbelakangi gerakan advokasi anggaran kesehatan yang dilakukan oleh kelompok perempuan. Keterlibatan perempuan dalam pos pelayanan terpadu atau lebih dikenal dengan Posyandu menjadi inspirasi bagi PATTIRO Surakarta untuk menjawab tantangan advokasi di sektor itu. Laporan mereka ada dalam artikel Mengawinkan Peran Warga dan Kontribusi APBD Di Posyandu.
Mendorong peran kelompok marginal dalam melakukan advokasi anggaran dalam pemenuhan hak dasarnya juga dilakukan oleh kelompok difabel (different ability). Upaya SAPDA dalam Mendorong Kebangkitan Difabel untuk Memperjuangkan Hak mulai terwujud dari proses advokasinya yang dilakukan di Yogyakarta.
Hal serupa dilakukan oleh kelompok petani yang diorganisasi oleh KSPPM di Kabupaten Tapanuli Utara. Di Indonesia yang adalah negara agraris dengan penduduk yang rata-rata bertani, sudah selayaknya petani lebih sejahtera dan mendapat alokasi anggaran yang memadai untuk meningkatkan hasil pertanian. Tulisan yang bertajuk Memahami Anggaran Memanen Kesejahteraan menceritakan upaya petani dalam advokasi anggaran pertanian.
Pemenuhan hak ekonomi sosial budaya sebagai hak dasar warga negara melalui anggaran tersebut dilengkapi oleh advokasi proses penganggaran untuk pemenuhan hak sipil dan politik. Dalam siklus penganggaran yang diawali dengan perencanaan, posisi tawar masyarakat sipil serta kelompok marjinal akan sangat mempengaruhi arah kebijakan anggaran. Dengan kata kunci partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, perbaikan proses penganggaran dilakukan oleh elemen masyarakat sipil.
Upaya mendorong Pelembagaan Partisipasi dan Transparansi Anggaran Daerah dilakukan oleh P3ML di Kabupaten Sumedang. Melalui Perda Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah, gagasan tentang pagu indikatif kewilayahan dan Forum Delegasi Musrenbang ditetapkan dalam Perda. Perda ini menjadi rujukan bagi advokasi di banyak daerah di Indonesia.
Selain pelembagaan proses penganggaran dalam sebuah peraturan perundangan, penguatan proses penganggaran dilakukan pula dengan mengkonsolidasikan seluruh elemen masyarakat sipil di daerah. Jejaring masyarakat sipil menjadi kekuatan untuk mempengaruhi anggaran daerah. Pengalaman yang relevan mengenai hal itu ditulis oleh FITRA Riau dalam artikel Realokasi Anggaran Menuju Efektivitas dan Efisiensi.
Mendorong kelompok penekan (pressure group) dalam memperjuangkan alokasi anggaran yang berpihak pada rakyat, sangat efektif dan menggerakkan. Salah satunya adalah pengalaman Lakpesdam NU yang dicatat dalam Ketika Rakyat bersama Ulama Mengadvokasi Anggaran. Melalui Batsul Masail sebagai metode pengambilan keputusan para ulama, permasalahan anggaran dibahas dan diselesaikan. Pengalaman di Kabupaten Cilacap ini bisa menjadi model yang efektif bagi daerah lain untuk memperkuat advokasi.
Selain mendorong kelompok keagamaan untuk terlibat dalam proses penganggaran, beberapa lembaga yang peduli pada anggaran responsif gender mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam proses penganggaran. Mereka tidak hanya mengejar kuota minimum perempuan 30 % dalam partisipasi politik tetapi membuat prosedur sendiri untuk menggabungkan perempuan dalam satu suara melalui Musrenbang perempuan. Pengalaman IDEA dalam Tiada Maknanya Partisipasi Tanpa Alokasi diharapkan menjadi model partisipasi dengan alokasi yang jelas.
Beragam catatan proses advokasi anggaran inilah yang dipaparkan dalam buku yang berjudul Di Mana Uang Kami? Advokasi Anggaran di Indonesia. Buku yang dicetak dalam dua bahasa ini diharapkan bisa memberikan gambaran catatan pelaku advokasi anggaran secara langsung. Kami berharap cerita-cerita keberhasilan, kegagalan, dan perubahan-perubahan yang ada dalam naskah ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca dalam memahami advokasi anggaran di Indonesia.
Proses merangkum kisah ini merupakan salah satu tindak lanjut pertemuan lima lembaga advokasi anggaran (IDEA –Inisiatif – Lakpesdam NU – PATTIRO – Seknas FITRA). Kelima lembaga ini berproses atas dukungan Partnership Initative of the International Budget Partnership untuk memberikan gambaran perubahan paling signifikan dalam advokasi anggaran yang dilakukan di Indonesia.
Harus diakui bahwa pegiat advokasi anggaran yang bersemangat dalam proses melakukan advokasi seringkali compang-camping dalam melakukan penulisan pengalamannya. Namun upaya keras para penulis untuk menghadirkan dan merangkum kembali catatan dan ingatannya patut mendapat apresiasi.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada tim inti kolaborasi 5 lembaga, para penulis, penyunting, dan penerjemah yang telah berproses menghadirkan buku ini. Ucapan terima kasih secara istimewa kami sampaikan kepada Debbie Budlender –merupakan bagian dukungan Partnership Initiative –yang sangat telaten memberikan saran dan memandu dengan pertanyaan-pertanyaan tajam selama penyusunan buku ini. Selain itu, tim International Budget Partnership yang telah mendukung proses penulisan ini berhak atas ucapan terima kasih yang dalam dari kami.
Kami berharap buku ini dapat menjadi sumbangsih yang bernilai bagi advokasi anggaran di Indonesia dan menjadi inspirasi bagi negara lain.
Yogyakarta, 20 Mei 2011
IDEA – Inisiatif – Lakpesdam NU
PATTIRO – Seknas FITRA