Sorry, this entry is only available in ID.
Perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kenyataan yang sudah dirasakan: banjir, suhu ekstrem, hingga kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai 0,66–3,45% PDB Indonesia pada 2030. Sayangnya, kontribusi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lainnya masih belum mencukupi. Di tengah kebutuhan pendanaan aksi iklim yang mencapai lebih dari Rp343 triliun per tahun, strategi pendanaan ekologis seperti Ecological Fiscal Transfer (EFT) menjadi semakin mendesak.
Sebagai upaya melibatkan generasi muda dalam isu ini, The Asia Foundation dan PATTIRO, bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE), menyelenggarakan EFT Goes to Campus di Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (21/8). Kegiatan ini mengusung tema Keterlibatan Anak Muda dalam Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup dan diikuti 120 mahasiswa S1 dan S2 FISIPOL UGM.
Sejak tahun 2017, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) telah menginisiasi implementasi Ecological Fiscal Transfer (EFT) melalui berbagai skema, seperti TAPE, TAKE, dan ALAKE. Hingga kini, sedikitnya 46 pemerintah daerah telah mengadopsi pendekatan ini. Berbagai bukti menunjukkan bahwa EFT efektif dalam mendorong integrasi indikator lingkungan ke dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah, memperkuat regulasi perlindungan lingkungan, serta meningkatkan partisipasi Masyarakat, khususnya generasi muda.
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber seperti Dwi Nugroho Program Officer Environmental Governance Unit The Asia Foundation, Nurul Tanjung Program Officer PATTIRO, Indah Surya W. Akademisi DPP FISIPOL UGM, dan Ani Widaya mantan Lurah Sumbermulyo sekaligus anggota DPRD Kabupaten Bantul. Acara ini sukses diselenggarakan dan diikuti oleh 120 peserta dari jenjang S1 dan S2 FISIPOL UGM, menandai antusiasme generasi muda dalam mendalami isu pendanaan lingkungan dan peran mereka dalam aksi iklim.
Dwi Nugroho menjelaskan bahwa EFT merupakan bentuk penghargaan berupa insentif fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang menunjukkan komitmen dalam menjaga lingkungan. “Harapannya, semakin banyak pemerintah daerah menjadikan isu lingkungan sebagai prioritas dalam kebijakan dan anggaran,” jelas Dwi.
Sementara itu, Ani Widaya menekankan pentingnya keterlibatan mahasiswa di tingkat desa. “Persoalan lingkungan seperti sanitasi dan sampah masih menjadi masalah serius. Mahasiswa bisa berperan aktif melalui program KKN untuk menyosialisasikan pentingnya menjaga lingkungan,” ujarnya.
Menurut Indah Surya W, krisis iklim harus ditempatkan sejajar dengan agenda pembangunan kapasitas fiskal. “Tanpa itu, kebijakan lingkungan sulit diimplementasikan secara berkelanjutan,” tegasnya.
Nurul Tanjung menambahkan, “Generasi muda adalah kelompok yang paling terdampak oleh krisis iklim, dari kesehatan hingga ekonomi. Dengan energi, kreativitas, dan visi jangka panjang, suara mereka sangat dibutuhkan dalam proses kebijakan publik. Anggaran lingkungan bukan isu elit, melainkan kepentingan bersama.”
PATTIRO sendiri telah aktif melibatkan pemuda dalam advokasi EFT melalui pelatihan, youth camp, hingga pengembangan platform daring EFT yang responsif gender. Nurul juga mendorong anak muda untuk berkontribusi melalui media sosial, komunitas, proyek lokal, maupun riset dan advokasi kebijakan. Selain itu, PATTIRO juga mengembangkan platform daring e-learning EFT (https://elearning-eft.pattiro.org/) terkait EFT yang responsif gender dan dapat diakses secara gratis oleh publik.
Diskusi berlangsung dinamis karena mahasiswa menunjukkan minat besar terhadap skema anggaran dan insentif fiskal/EFT yang masih relatif baru bagi mereka. Pertanyaan kritis muncul, misalnya apakah EFT bisa diterapkan di NTT, bagaimana KMS-PE mengadvokasikan agar diterima pemerintah daerah, hingga apakah EFT berpotensi disalahgunakan karena melibatkan pemerintah daerah sebagai aktor utama.
Menanggapi hal ini, Nurul menjelaskan bahwa EFT hanyalah salah satu dari beragam skema pendanaan lingkungan. Karena berbasis dana APBD, EFT bisa diterapkan di NTT maupun daerah lain di Indonesia. Advokasi kepada pemerintah daerah menjadi kunci untuk melegalkan penerapannya, dengan menekankan bahwa EFT mampu melindungi lingkungan, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta memperkuat upaya pencegahan bencana.
Risiko korupsi sangat kecil karena implementasinya melibatkan banyak pihak, baik pemda maupun masyarakat, dengan mekanisme insentif fiskal yang dihitung menggunakan indikator transparan sebagai bentuk akuntabilitas.
Diskusi ini menjadi bukti bahwa generasi muda sudah lebih peduli pada lingkungan hidup melalui aksi hinhha advokasi. Melalui EFT Goes to Campus, generasi muda diharapkan tidak hanya menjadi penerima edukasi, tetapi juga agen perubahan yang memperkuat pendanaan lingkungan demi keberlanjutan bumi dan pembangunan nasional. Ke depan, program ini akan diperluas ke berbagai kampus lain di Indonesia.