(ID) Implementasi Mekanisme Komplain Terhadap Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi Masyarakat

Sorry, this entry is only available in ID.

Sorry, this entry is only available in ID.

Mulai November 2005 Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) menyelenggarakan program “Pengembangan Mekanisme Komplain terhadap Pelayanan Publik Berbasis Masyarakat Daerah”. Program ini dilaksanakan di tiga Kota di Pulau Jawa, yaitu Kota Tangerang Propinsi Banten, Kota Semarang Propinsi Jawa Tengah, dan Kota Malang Propinsi Jawa Timur. Dua bulan kemudian, Februari 2006 mulai dilaksanakan di Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Bantaeng di Propinsi Sulawesi Selatan. Di awal bulan April 2006, menyusul pelaksanaan di Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat.

Pertimbangan yang mendasari program adalah belum tercapainya harapan membaiknya penyelenggaraan pelayanan publik di era otonomi daerah. Harapan besar sejak pemberlakukan UU Nomor 22/1999 pada tahun 2001 belum juga terwujud. Penyelenggaraan tata pemerintahan di daerah tidak mengalami perbaikan yang berarti, ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi belum cukup terbuka, dan dekatnya pelayanan publik kepada masyarakat tidak membuat masyarakat mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik.

Masih banyak keluhan masyarakat tentang biaya pembuatan akta kelahiran, kartu keluarga, maupun KTP yang mahal. Keluarga pemegang Kartu Asuansi Kesehatan bagi Keluraga Miskin (Askeskin) sering merasa mendapatkan perlakuan yang tidak ramah, diremehkan, bahkan ada yang tidak dilayani dengan alasan sarana yang tersedia sudah penuh. Dalam penyelenggaraan pendidikan juga demikian. Masih ada upaya mengelola dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang tidak transparan dan tanpa partisipasi masyarakat.

Berdasarkan pemikiran tersebut, program ini bertujuan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, agar produk dan penyelenggaraan pelayanan publik di daerah menjadi lebih berkualitas –serta lebih berpihak kepada masyarakat miskin dan perempuan. Upaya yang dilakukan dalam program ini adalah; pengorganisasian masyarakat di tingkat basis, advokasi kebijakan daerah tentang pelayanan publik yang berpihak kepada kepentingan masyarakat, dan fasilitasi implementasi mekanisme komplain di instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik di daerah.

Dalam pelaksanaan program di lapangan PATTIRO bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Tim Pelaksana daerah yang dipertimbangkan sangat memahami kondisi masyarakat di lokasi program. Di Pulau Jawa bekerjasama dengan jaringan PATTIRO Raya, yaitu; PATTIRO Tangerang, PATTIRO Semarang, dan PATTIRO Malang. Di Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Bantaeng pelaksanaan program bekerjasama dengan Tim Pelaksana Daerah. Salah satu anggota tim merupakan anggota Kelompok Kerja Masyarakat Sipil Kabupaten, yaitu; Aliansi Masyarakat Sipil Turatea (AMST) di Kabupaten Jeneponto dan Jaringan Masyarakat Sipil (Jaringmas) di Kabupaten Bantaeng. Di Lombok Barat mitra kerja PATTIRO adalah Solidaritas Perempuan Mataram.

Di daerah, program ini dilakukan bekerjasama dengan warga di 30 desa/kelurahan, anggota DPRD, pejabat dan staf pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, media massa daerah, dan organisasi masyarakat lain. Di masyarakat, program bertujuan memfasilitasi peningkatan kapasitas masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan publik –melalui pengembangan community centre.

Interaksi dan kerjasama dengan pemerintah daerah dimaksudkan untuk mengadvokasi implementasi mekanisme komplain di beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seperti dinas-dinas dan badan, maupun Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) –seperti puskesmas untuk layanan kesehatan, kecamatan untuk layanan administrasi, dan sekolah utuk layanan pendidikan. Dengan para penentu kebijakan di DPRD
maupun kepala daerah, interaksi dalam bentuk lobi dan diskusi bertujuan melakukan advokasi kebijakan publik berupa draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pelayanan Publik untuk lebih menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih berkualitas. Proses advokasi kebijakan dilakukan bersama organisasi masyarakat sipil lain –dari sesama NGO, akademisi perguruan tinggi, media massa, maupun institusi warga di tingkat komunitas.

Upaya masyarakat partisipasi masyarakat di tingkat basis diwadahi dalam bentuk community centre yang terbentuk di 29 desa/kelurahan. Sebagian besar sudah menjalankan peran dalam mengadvokasi penyampaian pengaduan dari masyarakat, terlibat dalam pertemuan dengan pemerintah daerah dan DPRD, bahkan terlibat dalam advokasi kebijakan bersama organisasi masyarakat sipil lain.

Proses asistensi teknis dengan pemerintah daerah mengimplementasikan mekanisme komplain di beberapa puskesmas di Lombok Barat, memperbaiki Pusat Penanganan Pengaduan Pelayanan Publik (P5) di Kota Semarang agar lebih bisa diakses oleh masyarakat, adanya penerapan mekanisme komplain di Dinas Pendidikan Kota Semarang dalam pemantauan terhadap penerimaan siswa baru, maupun adanya perubahan perilaku ke arah positif di Kota Tangerang. Instansi perijinan yang sebelumnya tidak menyediakan informasi tentang proses pengurusan administrasi dan biayanya –menjadi upaya untuk membangun transparansi. Di kantor kecamatan misalnya, ada papan informasi yang berisi petunjuk mengurus Akte Kelahiran, Kartu Keluarga, maupun KTP.

Sedangkan advokasi kebijakan berupa pengusulan draft Raperda Pelayanan Publik, ada dua Raperda yang sudah melalui proses pengusulan, yaitu di Kota Malang yang sudah mulai di bahas oleh Penitia Khusus dan di Kabupaten Jeneponto yang sudah diusulkan tapi belum dilakukan pembahasan. Di empat daerah lainnya, draft Raperda belum berhasil diusulkan, tapi mendapatkan dukungan posistif dari para stakeholder – masyarakat sipil, pemerintah daerah, maupun anggota DPRD.

Tentu saja sah untuk berharap bahwa masyarakat makin meningkat kemampuannya, tersedia institusi bagi partisipasi masyarakat, dan ada kebijakan payung yang menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas dan hak untuk berpartisipasi.

Scroll to Top
Skip to content