BOS: Konsistensi Mandat, Keberlanjutan, dan Akuntabilitas

Pelaksanaan mandat konstitusi, UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan tentang wajib belajar sudah semestinya dijalankan dengan serius oleh Pemerintah. Dan ini ditunjukkan dengan tingginya nilai anggaran yang dialokasikan untuk bidang ini. Salah satu program unggulan dibidang pendidikan ini adalah Program Bantuan Operasional Sekolah.

Sejak dilaksanakan pada Tahun 2005, Program BOS selalu berada dalam proses perbaikan terus menerus. Perbaikan-perbaikan baik dalam sistem/mekanisme, persyaratan, dan peruntukan. Bahkan satuan biaya atau nilai nominalnya di APBN mengalami pertambahan. Dan kesungguh-sungguhan Pemerintah ini cukup nampak dari terjadinya perubahan-perubahan kebijakan, di setiap tahunnya. Namun, meskipun telah diupayakan untuk menyajikan dan menyelenggarakan kebijakan dan program BOS ini dengan baik, dan sesuai dengan kerangka kerja Good Governance, Pemerintah tidak juga mampu atau berhasil menemukan sebuah formula yang tepat, yang kompatibel antara program BOS dengan sistem desentralisasi fiskal yang berjalan.

Di samping itu, terdapat beberapa kesenjangan kebijakan yang terjadi ditingkat aturan main (rule of law) dan ditingkat implementasinya. Beberapa kesenjangan atau gap itu berhasil diidentifikasi dalam Laporan ini.

Temuan-temuan kesenjangan/gap tersebut terdiri dari 8 hal, yang terkait dengan masalah konsistensi, keberlanjutan program, dan akuntabilitas publik terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban program BOS. Ketiga jenis masalah tersebut menyebar dan mengisi keseluruh bagian dari ke delapan temuan kesenjangan/gap tersebut.

Berikut dibawah ini adalah ringkasan dari delapan temuan beserta rekomendasi kebijakan yang diusulkan.

NO.

TEMUAN

DESKRIPSI

REKOMENDASI

1

Tujuan

Kebijakan

Terdapat pengabaian terhadap mandat UUD 1945 dan UU Sisdiknas untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang bebas biaya, tanpa pungutan, atau gratis.

 Kebijakan pendanaan pendidikan pemerintah terbelah dalam dua orientasi: orientasi pendanaan yang meringankan beban seluruh siswa dan afirmatif membebaskan siswa dari rumah tangga miskin dari pungutan sekolah; dan orientasi pendanaan yang membebaskan seluruh siswa dari pungutan pendidikan.

 

 

Konstruksi kebijakan wajar dikdas, dengan pilihan membebaskan siswa dari seluruh pungutan sekolah, mesti terwujud secara konsisten dan konsekuen. Pilihan kebijakan ini lebih disebabkan aspek materiil dari perundang-undangan yang lebih tinggi memberi mandat demikian.

 UUD 1945 dan UU Sisdiknas harus menjadi sumber hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan wajar dikdas, dan subsidi pendidikan, sejak dari perencanaan hingga juknisnya. Namun, tatkala penilaian tentang kapasitas fiskal negara belum memadai dalam menjalankan mandat negara tersebut, maka persoalannya bukanlah pada mampu atau tidak mampu. Namun lebih pada pilihan-pilihan strategi dan manajemen keuangan negara.

 

2

Instrumen

Fiskal

 

Desentralisasi BOS merupakan kebijakan yang harus didukung kuat. Namun penyaluran dana BOS untuk tujuan tersebut yang dilakukan melalui instrumen fiskal yang tidak legitimate, tidak jelas, dan berbasis pada negosiasi politik, yaitu Dana Penyesuaian, merupakan kebijakan fiskal yang menjebak proses desentralisasi itu sendiri.

 Desentralisasi BOS terancam gagal dengan pilihan kebijakan desentralisasi fiskal yang kabur dan membuka kemungkinan ruang politik.

 

 

 

Menurut regulasi UU 33/2004, instrumen fiskal hanya ada 5 hal, yakni DAU, DAK, DBH (yang dikelompokkan sebagai Dana Perimbangan), Dekonsentrasi, dan Tugas Perbantuan.

 

Dana Penyesuaian tidak ada dan tidak dikenal oleh regulasi, dan hanya merupakan diskresi terhadap DAU, sehingga bersifat sementara dan terbatas.

Oleh karena itu, pilihan pemerintah untuk menempatkan program BOS dalam DAK merupakan pilihan yang harus dilakukan Pemerintah.

 Conditio sine qua non bagi pemerintah, dengan catatan, mekanisme DAK mesti dikembangkan dan dibangun dalam format yang akuntabel, transparan, efisien, fair, dan tepat sasaran, terutama bagi sekolah penerima manfaat.

 

3

Standar Satuan Biaya

 

Satuan biaya operasional nonpersonal yang ditanggung oleh program BOS tidak mencukupi kebutuhan biaya pendidikan yang mesti ditanggung oleh sekolah atau siswa. Ada selisih yang signifikan antara satuan biaya BOS dan satuan biaya yang dibutuhkan.

 

Oleh karena itu, sudah semestinya pemerintah tidak memasang sebuah target pencapaian kebijakan diluar kemampuan fiskal pemerintah sendiri. Perumusan dan penetapan kebijakan sudah seharusnya selaras dan sebangun dengan kemampuan fiskal yang dimiliki dan tidak menempatkan target capaian pada level yang terlalu tinggi.

 

4

Sumber

Pendanaan

 

Sumber pendanaan program BOS sebagian berasal dari utang luar negeri, atau melalui mekanisme PHLN. Kebijakan ini menyebabkan kerentanan program BOS dari aspek keberlanjutan dan akuntabilitas publik.

 

Orientasi kebijakan fiskal pemerintah yang masih bergantung kepada pinjaman dan hibah luar negeri semestinya dirubah. Kreatifitas dalam penemuan sumber-sumber pendanaan baru, seperti melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak penghasilan, penguatan produk-produk dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri, dan menimalisir impor barang mesti menjadi prioritas.

 Namun, jika masih menerima PHLN, sudah semestinya dana tersebut ditempatkan pada program-program pembangunan yang bersifat produktif dalam jangka pendek dan menengah. Seperti infrastruktur, pertanian, perdagangan, dan perindustrian.

 

5

Keuangan

Daerah

 

Penyaluran dana BOS dikategorikan sebagai keperluan-yang-mendesak. Menyebabkan keberadaan program BOS dalam kerangka desentralisasi bersifat sementara, dan belum kompatibel dengan sistem keuangan daerah.

 

Mekanisme transfer dana BOS yang kompatibel dengan sistem keuangan daerah mesti segera ditemukan, terutama terkait dengan penyaluran dana tersebut ke sekolah, tanpa prosedur yang mempersulit sekolah, dalam perencanaan maupun dalam pertanggungjawaban dan pelaporan.

 

6

Peraturan

Pelaksanaan

 

Berbagai peraturan pelaksanaan program BOS yang dikeluarkan beberapa kementerian terkait tumpang tindih dan tidak konsisten dalam penentuan aturan main.

 

Pemerintah mesti menetapkan peraturan pemerintah yang menjadi payung hukum dan kebijakan bagi peraturan pelaksanaan program BOS yang berasal dari berbagai kementerian yang sederajat.

7

Transfer Ke

Daerah

 

Transfer dana dari pemerintah ke pemerintahan daerah, dan  dari pemerintahan daerah ke sekolah telah terjadi keterlambatan. Dan keterlambatan tersebut tidak hanya disebabkan oleh kelambanan pihak pemda dalam mencairkan dana ke sekolah. Namun juga disebabkan hal lain, seperti kelambanan transfer dana dari pemerintah ke pemda, beban kerja berlebih dari BUD, sosialisasi yang lambat dan kapasitas pemda, persyaratan tambahan pemda, dan kepatuhan sekolah yang rendah.

 

Keterlambatan transfer dana di dua tahap tersebut mesti dipecahkan dengan penetapan mekanisme transfer dana BOS ke sekolah yang lebih terbuka, fleksibel, transparan, dan akuntabel.

 

Perlu penambahan unsur afirmasi dengan penempatan di rekening tersendiri, dalam sistem keuangan daerah, dan mempermudah proses penatausahaan dalam pencairan.

8

Tata Kelola

Sekolah

 

Kepatuhan sekolah dalam penyelenggaraan program BOS yang akuntabel, partisipatif, dan transparan masih rendah.

 

Pemerintah mesti mengutamakan peningkatan kapasitas sekolah sebagai prioritas nasional untuk bidang pendidikan. Terutama dalam hal APBS, dan fungsi-fungsi komite sekolah dan dewan pendidikan.

 

Scroll to Top
Skip to content