Sorry, this entry is only available in ID.
Publik dikejutkan kepala daerah banyak terjerat oleh korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. Februari 2013, Mendagri Gamawan Fauzi melansir data yang memprihatinkan. Dalam Sembilan tahun terakhir, 2004 – 2012, terdapat 290 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dalam rentang waktu implementasi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya, setiap tahun terdapat 32 kepala daerah yang bermasalah dengan hukum, 86,2 % telah dipidana. 290 kepala daerah itu terdiri dari: 20 orang gubernur, 7 orang wakil gubernur, 156 orang bupati, 46 orang wakil bupati, 41 orang walikota, dan 20 orang wakil walikota.
Padahal UU Pemda ini cukup kuat dalam membentengi keberadaan kepala daerah untuk meredam atau terhindar dari tindakan penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum. Hal tersebut nampak dari prosedur perijinan yang wajib ditempuh oleh penegak hukum. Prosedur ini sebenarnya menyulitkan Aparat Penegak Hukum.
Setidaknya ada dua tahap yang harus dilalui penegak hukum dalam menangani perkara hukum yang melibatkan kepala daerah. Tahap pertama, aparat penegak hukum harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden tatkala akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah (lihat Pasal 36 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004). Tahap kedua, aparat penegak hukum harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden tatkala akan melakukan penahanan terhadap tersangka kepala daerah (lihat Pasal 36 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004).
Nampaknya, dengan benteng berlapis tersebut, kepala daerah menjadi nyaman dan merasa aman untuk melakukan berbagai tindakan yang melanggar hukum. Seperti tindak korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan/atau pencucian uang. Benteng berlapis tersebut membuat unsur jera dari penegakkan hukum terhadap kepala daerah menjadi tereduksi. Dan bahkan tidak diperhitungkan sama sekali.
Kenyamanan/keamanan kepala daerah ini akan dipertahankan oleh Pemerintah. Agaknya, hal ini telah menjadi kebijakan Pemerintah. Pasal 36 UU No 32 Tahun 2004 tersebut tetap dipertahankan dalam Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (RUU Pemda) yang dibahas bersama DPR saat ini.
Pasal 75 RUU Pemda memiliki materi muatan yang sama persis dengan Pasal 36 UU No 32 Tahun 2004, dengan sedikit perubahan. Perubahan terjadi pada penghilangan kata “penyelidikan” dan menambahkan dua ayat tentang: (i). Instansi penegak hukum yang berhak mengajukan permohonan persetujuan tertulis kepada Presiden; dan (ii). Kewenangan memberikan pertimbangan oleh Menteri kepada Presiden.
Pencantuman kembali materi restriksi penyidikan terhadap kepala daerah ke dalam RUU Pemda menunjukkan bahwa Pemerintah berniat dan bersikap untuk melawan Konstitusi. Niat dan sikap perlawanan Pemerintah terhadap UUD 1945 tersebut ditunjukkan dari pengabaian Pemerintah atas Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi, dengan Putusan Nomor : 73/PUU-IX/2011, telah menyatakan, menetapkan, bahwa persetujuan tertulis dari Presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan kepala daerah “tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup.” Sehingga menyatakan Pasal 36 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 inkonstitusional, sehingga tidak lagi memiliki kekuatan mengikat secara hukum.
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi menerima secara bersyarat Pasal 36 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004. Yakni menerima adanya persetujuan tertulis dari Presiden untuk penahanan terhadap kepala daerah, dengan batas waktu 30 (tiga puluh) hari. Mengurangi jumlah hari yang sebelumnya mencapai 60 (enam puluh) hari.
Menurut Mahkamah Konstitusi, persyaratan persetujuan tertulis Presiden atas proses penyelidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang dimanfaatkan untuk menghapus jejak kejahatan atau penghilangan barang bukti.
Demikian pula, untuk persyaratan persetujuan tertulis Presiden, untuk penyidikan, menghambat proses hukum, yang seharusnya cepat, sederhana, dan berbiaya ringandan tidak menghalangi aparat menjalankankan tugasnya.
Izin Presiden ini tidak memiliki rasionalitas hukum cukup, dan akan memperlakukan warga negara berbeda di mata hukum. Seringkali juga ada kekhawatiran, pejabat yang terduga terlibat kasus akan berusaha dengan berbagai cara agar permohonan izin pemeriksaan dari Presiden tidak keluar. Baik dengan “menghadang” di tingkat penyidik maupun pada tingkat proses lainnya.
Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, seharusnya, Pemerintah menaati dan melaksanakannya. Upaya perlawanan Pemerintah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi, sama artinya dengan Pemerintah melawan dan melanggar Konstitusi.
PATTIRO mengingatkan, meyakinkan, dan mendorong agar DPR dan Pemerintah harus merubah substansi redaksional dari Pasal 75 RUU Pemda atau Paragraf Ketujuh, mengenai Tindakan Penyidikan terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah, dengan; Pertama-tama menghapus substansi pasal dan ayat yang telah dinyatakan “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat” dan “bertentangan dengan UUD 1945” oleh Mahkamah Konstitusi.
Kedua, menyusun pasal atau ayat tentang Tindakan Penyidikan terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam RUU Pemda yang sesuai dan selaras dengan mandat Konstitusi yang telah ditetapkan, diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, pada Putusan Nomor : 73/PUU-IX/2011.
Ketiga, rumusan pasal atau ayat yang sesuai dan selaras dengan mandat Konstitusi, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi, adalah: (i). Tindakan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagai akibat dari penyidikan aparat penegak hukum diperlukan persetujuan tertulis dari Presiden; (ii). Dalam hal persetujaun tertulis untuk penahanan tidak diberikan dalam waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, penahanan dapat dilakukan.
Jakarta, 20 Mei 2013
Sad Dian Utomo | Direktur Eksekutif
saddian@pattiro.org | 0812 800 3045
Contact Person: Iskandar Saharudin | Spesialis Kebijakan
iskandar@pattiro.org | 0852 6045 0446