Sorry, this entry is only available in ID.
[Jakarta, 25 Juni 2014]
Setelah kewenangan DPR memilih calon hakim agung (CHA) “dipangkas” oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kini, kewenangan DPR memilih calon pejabat publik kembali dipersoalkan lewat pengujian UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY) dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Spesifik, Rektor UII Yogyakarta Prof Edy Suandi Hamid dan Dosen FH UII Yogyakarta Sri Hastuti Puspitasari menggugat konstitusionalitas aturan kewenangan DPR memilih calon anggota KY dan KPK.
Para pemohon menilai kewenangan DPR memillih calon anggota KY dan KPK seperti diatur Pasal 28 ayat (3) huruf c, ayat (6) dan Pasal 37 ayat (1) UU KY dan Pasal 30 ayat (1), (10), (11) UU KPK masih menimbulkan persoalan. Pasal 28 ayat (6) UU KY menyebut DPR wajib memilih dan menetapkan 7 calon anggota KY (dari 21 calon yang diusulkan) paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima usul dari presiden. Sementara Pasal 30 ayat (1), (10), (11) UU KPK menyebut DPR wajib memilih dan menetapkan 5 calon yang diusulkan presiden dengan perbandingan 1 berbanding 3.
Dari sisi praktis, ketentuan itu dinilai mempengaruhi independensi KY dan KPK dalam penentuan anggota KY dan KPK karena rentan disusupi politik transaksional. Dari sisi normatif, penerapan pasal-pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 24B ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut pemohon, banyaknya UU yang memberi wewenang DPR merekrut pejabat publik melalui fit and proper test telah mengakibatkan “pergeseran” fungsi DPR sebagai pembentuk UU menjadi pengawas pelaksanaan UU alias semi eksekutif. Harusnya, DPR cukup memberi “persetujuan” seperti rekrutmen Panglima TNI dan Kapolri.
Argumentasi para pemohon bukan tanpa dasar. Simaklah berbagai Undang-Undang yang memuat pengisian jabatan negara. Mulai dari hakim agung, hakim konstitusi, komisioner-komisioner lembaga Negara, hingga gubernur dan deputi gubernur Bank Indonesia. Semua harus lewat tangan DPR. Kewenangan itu dirumuskan eksplisit dala perundang-undangan yang dibuat DPR bersama Pemerintah.
Dalam konteks kasus rekrutmen komisioner KPK dan KY, para pemohon meminta MK membatalkan kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY dan kata “dipilih’ dan frasa “memilih dan menetapkan” dalam Pasal 30 ayat (1), (10), (11) UU KPK sepanjang dimaknai “persetujuan”. Selain itu, frasa “sebanyak 3 kali” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY harus dimaknai “sebanyak sama dengan.” Demikian pula, frasa “sebanyak 21” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai sebanyak 7 calon.
Kini, proses persidangan pengujian kedua UU itu sendiri sudah mendengarkan keterangan pemerintah, ahli dan pihak terkait yakni KPK. KPK – seperti disampaikan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto – berpandangan DPR tak berwenang memilih pejabat atau penyelenggara negara termasuk pimpinan KPK. Sebab, merujuk Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, DPR hanya memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Menurutnya, kewenangan DPR dalam melakukan seleksi pimpinan KPK –yang sebelumnya dilakukan Pansel dengan melibatkan unsur masyarakat– potensial diintervensi yang dapat mempengaruhi independensi KPK. Terlebih, ketua KPK juga dipilih oleh DPR, yang berbeda dengan MA, KY, MK, dan lembaga negara lainnya yang menentukan sendiri ketuanya. Fakta ini, semakin menegaskan adanya kebijakan yang diskriminatif.
Rekrutmen diubah
Hal senada disampaikan Guru Besar FH Universitas Andalas Prof Saldi Isra dan Guru Besar UGM Prof Miftah Thoha. Saldi berpendapat pola rekrutmen anggota KY dan KPK yang melibatkan DPR mesti diubah. Sebab, pola rekrutmen anggota kedua komisi negara tak lepas dari intervensi politik baik oleh presiden maupun DPR. Namun, kewenangan presiden sudah dikurangi karena sebagian diserahkan kepada panitia seleksi yang diisi unsur pemerintah, praktisi, akademisi, dan tokoh masyarakat.
Sebaliknya, DPR masih memiliki kekuasaan cukup besar dalam menentukan anggota KY dan KPK karena DPR masih berwenang memilih 1 dari 3 nama yang diajukan Pansel. Karena itu, sudah saatnya DPR tidak perlu lagi diberi kewenangan untuk ”memilih”, tetapi cukup ”menyetujui” atau ”tidak menyetujui” calon anggota KY dan KPK yang diusulkan Pansel. Terlebih, Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 menyebut anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan “persetujuan” DPR.
Sama halnya rekrutmen anggota KPK. Meski KPK sebagai salah satu badan yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman seperti dimaksud Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, kewenangan DPR juga harus dibatasi dalam pemilihan anggota KPK. DPR pun seharusnya hanya berwenang member persetujuan terhadap calon anggota KPK yang diusulkan Pansel. Kedua lembaga harus diberlakukan pola rekrutmen yang sama karena fungsinya berhubungan kekuasaan kehakiman, sehingga harus dijauhkan dari intervensi politik.
Prof. Miftah Thoha menyarankan agar pengangkatan anggota KY dan KPK tidak perlu political approval atau uji kelayakan oleh DPR. Seperti berlaku dalam pemilihan calon hakim agung, Panglima TNI, dan Kapolri. Sebab, pengangkatan pejabat negara yang murni itu masuk ranah kekuasaan eksekutif sebagai kepala negara sesuai Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Hal ini untuk menjaga agar tidak diintervensi kepentingan politik dari partai politik di DPR.
Kebijakan pembentuk UU
Pemerintah, seperti disampaikan Plt Dirjen Perundang-undangan Kemenkumham Mualimin Abdi, mengakui pengisian jabatan anggota KY dan KPK tidak eksplisit diatur dalam UUD 1945. Hal itu dianggap sebagai pilihan kebijakan pembentuk undang-undang (legal policy). Menurutnya, UU KY yang menggunakan istilah “memilih” yang tak sinkron dengan Pasal 24B ayat (3) dan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menggunakan istilah “persetujuan”, sudah diputus MK lewat putusan No. 27/PUU-XI/2013. Karenanya, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada majelis MK untuk memutuskan pengujian UU KY dan UU KPK itu.
Seperti diketahui, melalui putusan itu, MK mengubah kewenangan DPR “memilih” menjadi “persetujuan” calon hakim agung (CHA) terkait pengujian UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang KY yang dimohonkan eks CHA yaitu Dharma Weda, RM. Panggabean, dan St. Laksanto Utomo yang diwakili Koalisi LSM. Dalam pertimbangannya, MK mengutip risalah pembahasan perubahan UUD 1945 pada tahun 2001 terkait pembentukan KY yang diungkap Agung Gunanjar (Anggota PAH I BP MPR).
Catatan risalah perubahan UUD 1945 menjelaskan sangat gamblang makna dan kandungan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “..Hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Dengan begitu, posisi DPR dalam penentuan CHA sebatas memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan atas CHA yang diusulkan KY. Dalam posisi ini, DPR tidak dalam posisi memilih beberapa CHA yang diusulkan KY. Hal itu dimaksudkan agar ada jaminan independensi hakim agung tidak dipengaruhi kekuatan politik.
Memang beberapa calon pejabat publik seperti duta besar, Kapolri, Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, Anggota BPK, komisioner negara, termasuk anggota KY dan KPK proses rekrutmennya melibatkan pemerintah (presiden) dan DPR. Berdasarkan UU, DPR berwenang untuk sekadar memilih, sebagian memberi persetujuan, atau memilih dan meneruskan hasil seleksi kepada presiden untuk mendapatkan penetapan secara administratif.
DPR berwenang
Menanggapi persoalan ini, Anggota Komisi III DPR Eva Sundari Kusuma mengklaim DPR berwenang memberi memilih atau menyetujui calon pejabat publik. Dia mempersilahkan warga negara yang mempersoalkan materi setiap UU yang mengatur keterlibatan DPR dalam pemilihan atau persetujuan pejabat publik. Menurut dia konstitusi sudah mengatur DPR memberi persetujuan terhadap calon hakim konstitusi dan calon hakim agung yang diusulkan KY. Di luar pejabat itu, DPR berwenang memilih pejabat yang diusulkan berdasarkan UU seperti yang berlangsung selama ini.
Kalau ditelisik lebih jauh, tak semua pemilihan pejabat publik oleh DPR diatur dalam konstitusi. Secara eksplisit, konstitusi hanya member kewenangan DPR menyetujui calon hakim konstitusi, CHA, komisioner KY, kecuali pemilihan calon anggota BPK seperti dijamin Pasal 23F UUD 1945.
Tak hanya itu, persetujuan DPR terhadap calon anggota KY pun disebut dalam Pasal 71 huruf o UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), seperti halnya model persetujuan calon Kapolri dan Panglima TNI dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Di luar itu, DPR berwenang memilih pejabat Gubernur Bank Indonesia, komisioner negara termasuk calon pimpinan KPK yang kewenangan diatur dalam UU.
Dengan begitu, persoalan kewenangan DPR menyeleksi calon anggota KY memang menimbulkan konstitusionalitas norma yang harus diputuskan MK. Namun tidak demikian dengan pengujian UU KPK terkait pemilihan anggota KPK. Hanya saja, wewenang pemilihan calon pimpinan KPK oleh DPR potensial membuka peluang intervensi politik yang cukup lebar. Terlebih, faktanya sudah banyak anggota DPR yang “diciduk” KPK lantaran terlibat sejumlah kasus korupsi (suap).
Merujuk preseden putusan MK No. 27/PUU-XI/2013, nampaknya arah putusan pengujian UU KY dan UU KPK sudah bisa terbaca. Namun, persoalan terpenting yang harus dijawab MK terkait putusan pengujian UU KY dan UU KPK ini, apakah keterlibatan DPR dalam persetujuan atau pemilihan semua pejabat publik bagian dari fungsi pengawasan DPR sebagai pelaksanaan prinsip check and balances? Hal itu penting, sebab konstitusi tak mengatur eksplisit kewenangan DPR dalam proses rekrutmen/pengisian jabatan publik melalui mekanisme pemilihan atau persetujuan itu.
Mahkamah juga perlu menghubungkan penegasan sistem pemerintahan presidensial yang dianut UUD 1945. Sebab, dalam hal pengisian jabatan publik ini terkesan kekuasaan parlemen/DPR begitu kuat (legislative heavy). Alhasil, penerapan sistem pemerintahan presidensial tidak konsisten. Kebijakan apapun yang dibuat presiden tetap melalui mekanisme DPR. Jika tidak, segala ketentuan menyangkut keterlibatan DPR dalam proses pemilihan pejabat publik lainnya potensial dipersoalkan warga negara di kemudian hari.
Kita tunggu saja…!