Sorry, this entry is only available in ID.
Publik melihat betapa UU Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) sejauh ini tidak efektif mencegah korupsi di pemerintah daerah. Buktinya, dari catatan KPK (2012), hingga akhir tahun 2012 telah terungkap tindak pidana korupsi sebanyak 138 kasus ditingkat daerah. Dari 138 perkara korupsi di daerah itu, sebanyak 38 kasus terjadi ditingkat provinsi dan 60 kasus ditingkat kabupaten/kota. Delapan gubernur ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa. Dan ditingkat kabupaten/kota, dari 60 perkara korupsi, 32 bupati/walikota terjerat pula didalamnya.
Lantas, apakah RUU Pemda yang saat ini sedang dibahas DPR punya kemampuan mencegah?
PATTIRO justru mendapati hal yang mengkhawatirkan. RUU ini malah cenderung membuka peluang dan bahkan memberikan perlindungan bagi korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah.
Catatan PATTIRO atas RUU Pemda menunjukkan ada dua pola perlindungan RUU Pemda atas korupsi/penyalahgunaan wewenang dari kepala daerah.
Pola pertama: memberikan payung bagi pengabaian kontrol politik atas keuangan daerah. dan pola kedua, memberikan payung bagi imunitas hukum dari kepala daerah.
Pola pertama, ditunjukkan dengan adanya aturan pengabaian kontrol DPRD atas perencanaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Aturan ini terdapat di Pasal 202 dan Pasal 207. Pasal 202 tentang pembahasan bersama DPRD dan kepala daerah terhadap RAPBD. Dan Pasal 207 tentang pembahasan bersama DPRD dan kepala daerah terhadap pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Ketentuan ini akan menimbulkan konsekuensi politik. Pertama, dengan mengabaikan fungsi pengawasan DPRD dalam pembahasan RAPBD dan pertanggungjawaban APBD, maka RUU Pemda berpotensi membuka penyalahgunaan kekuasaan dari kepala daerah. Cukup dengan alasan gagal bersepakat dengan DPRD –apapun rasionalitas dibalik kegagalan tersebut- kepala daerah dapat menetapkan APBD dan menetapkan penerimaan pertanggungjawaban dirinya sendiri atas pelaksanaan APBD yang dilakukannya melalui pengesahan dari Menteri (bagi provinsi) atau gubernur (bagi kabupaten/kota) dalam rentang waktu 22 (dua puluh dua) hari -22 hari saja, bukan 22 hari kerja!
Dibalik Pasal ini, agaknya, RUU Pemda sudah berpretensi bahwa DPRD adalah lembaga buruk, korup, dan penghalang proses pembahasan rencana dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Transaksi politik harus direduksi dalam proses pembahasan terkait keuangan daerah. Tentu kita sepakat bahwa keuangan daerah/APBD adalah area terlarang bagi transaksi politik yang korup dan menjadi sumber pendanaan parpol, darimana anggota DPRD itu berasal. Namun, tidak boleh begitu saja menghilangkan fakta, bahwa proses pembahasan APBD adalah proses politik demokratik.
Konsekuensi politik kedua adalah ditetapkannya APBD dan pertanggungjawaban APBD melalui peraturan kepala daerah berpotensi cacat-hukum. Artinya, akan muncul konflik politik baru dengan DPRD. Peraturan kepala daerah tidak termasuk wilayah legislasi anggaran DPRD. Padahal APBD adalah produk anggaran bersama antara dua komponen pemerintahan daerah (kepala daerah dan DPRD).
Kecenderungan executive heavy dalam kedua pasal RUU Pemda tersebut menghadirkan potensi penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan dari kepala daerah.
Pola Kedua, ditunjukkan dengan adanya dua pasal imunitas hukum kepada kepala daerah -Pasal 71 dan Pasal 269. Kedua pasal itu memberikan imunitas hukum kepada kepala daerah atas dasar dua hal: (i). Imunitas dari tuntutan pidana paska menjabat, dengan dasar hasil audit paska jabatan atas keuangan daerah dan aset daerah; dan (ii). Imunitas dari tuntutan pidana, atas kegagalan implementasi inovasi daerah.
Imunitas paska menjabat, dengan berlindung dibalik hasil audit dari instansi yang berwenang (BPK atau BPKP) merupakan upaya menghalangi pemberantasan korupsi. Persoalannya bukan pada kredibilitas dari hasil audit paska jabatan dari BPK/BPKP itu. Persoalannya pada upaya menutup adanya bukti-bukti tindak pidana diluar dari hal-hal yang diaudit oleh instansi yang berwenang itu. Demikian pula dengan imunitas hukum dari kegagalan kebijakan inovasi daerah. Kegagalan inovasi tidak termasuk ranah hukum pidana. Hal ini menjadi ranah kebijakan, administrasi, dan kompetensi pelaksana kebijakan tersebut.
Rekomendasi PATTIRO kepada DPR dan Pemerintah
- Pasal 202 diubah. Penetapan RAPBD tetap melalui Perda, bukan peraturan kepala daerah. Penetapan dengan Perda mendorong DPRD dan kepala daerah bersikap produktif, positif, dan menaati koridor pembahasan RAPBD. Ketidaksetujuan atas RAPBD merupakan sikap politik bersama, dan dipecahkan dengan menggunakan APBD dengan pagu sesuai tahun anggaran sebelumnya. Dengan demikian, kewenangan kepala daerah tidak berlebihan atas penetapan RAPBD.
- Pasal 207 diubah. Penetapan pertanggungjawaban APBD tetap melalui Perda. Pembahasan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD menjadi satu bagian dengan pembahasan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepala daerah. Sehingga berlaku ketentuan: Laporan Keterangan Pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD dibahas oleh DPRD untuk rekomendasi perbaikan kinerja pemerintah daerah. Sehingga pembahasan pertanggungjawabn APBD menghasilkan rekomendasi perbaikan kinerja pelaksanaan keuangan daerah.
- Penambahan Pasal baru, terkait konsekuensi atau sanksi kepada kepala daerah yang mengabaikan rekomendasi perbaikan kinerja dari DPRD. Sanksi kepada kepala daerah tersebut merupakan usulan DPRD kepada menteri (untuk provinsi) dan gubernur (untuk kabupaten/kota) dan berupa sanksi administratif tidak dibayarkan hak-hak keuangan kepala daerah selama 3 (tiga) bulan.
- Pasal 71 diubah. Imunitas hukum atas kepala daerah yang habis masa jabatannya, dan menduduki jabatan baru atau pensiun, dihapus. Pasal ini diubah menjadi ketentuan tentang pemberlakuan audit paska menjabat bagi kepala daerah, sekda, dan kepala SKPD tatkala dipromosikan atau ditempatkan di jabatan baru.
- Pasal 269, dihapuskan saja.
Jakarta, 08 Mei 2013
Sad Dian Utomo | Direktur Eksekutif
saddian@pattiro.org | 0812 800 3045
Contact Person: Iskandar Saharudin | Spesialis Kebijakan
iskandar@pattiro.org | 0852 6045 0446