Sorry, this entry is only available in ID.
Pada awal pengajuan RUU Pilkada, pemerintah mengusulkan gubernur dipilih oleh DPRD provinsi, sedangkan bupati/wali kota dipilih langsung oleh rakyat. Di tengah pembahasan, pemerintah mengubah usulan menjadi gubernur dipilih langsung, sedangkan bupati/wali kota dipilih oleh DPRD kabupaten/kota. Namun, mayoritas fraksi di Panja RUU Pilkada tetap meminta kepala daerah dipilih langsung seperti yang terjadi saat ini.
Akhirnya pada Senin (27/1), di Jakarta Pemerintah dan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Komisi II DPR sepakat bahwa gubernur, bupati, dan wali kota tetap dipilih langsung oleh rakyat. Kesepakatan ini diambil setelah pekan lalu mereka setuju pilkada dilakukan serentak mulai 2020.
Anggota Panja RUU Pilkada, Taufiq Hidayat, menuturkan, pilkada langsung tetap dipertahankan karena pilkada serentak disetujui. Jika mekanisme pemilihan gubernur dan pemilihan bupati/wali kota berbeda, akan dianggap ganjil.
Selain menghemat biaya, menurut Taufiq, pilkada langsung yang dilakukan serentak juga akan mendorong penataan format kepartaian. Apalagi, pemilu legislatif dan pemilu presiden dilakukan serentak pada 2019. ”Koalisi yang terbangun adalah koalisi simetris, sama parpolnya dari pusat sampai daerah. Penataan format kepartaiannya di situ,” kata politisi Partai Golkar ini.
Agoes Poernomo, anggota Panja RUU Pilkada dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, menambahkan, salah satu konsekuensi dari pilkada serentak adalah adanya pengetatan kampanye. Dia mengusulkan kampanye pilkada dilaksanakan oleh KPU. Dengan demikian, calon kepala daerah tidak perlu mencari biaya untuk berkampanye.
Sementara itu, pemerintah berharap tidak akan ada masa jabatan kepala daerah yang dikurangi akibat pilkada serentak. Pasalnya, akan ada masa transisi sebelum pelaksanaan kebijakan itu pada 2020.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menuturkan, pada masa peralihan, akan ada daerah yang dipimpin penjabat kepala daerah. Untuk penjabat gubernur, bisa ditempatkan pejabat eselon I, sekretaris daerah provinsi atau pejabat eselon pusat, baik dari Kementerian Dalam Negeri maupun kementerian/ lembaga lain. Adapun penjabat bupati/wali kota bisa diisi pejabat eselon II di pemerintah provinsi, seperti kepala biro, kepala dinas/ badan, dan asisten. (Diolah dari kompas cetak edisi Rabu, 28 Januari 2014)