Sorry, this entry is only available in ID.
Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) menilai terdapat sejumlah pasal pada Rancangan Undang Undang Pemerintah Daerah yang dianggap menghambat pemberantasan korupsi di kalangan kepala daerah. “Setidaknya ada dua tahap yang harus dilalui penegak hukum dalam menangani perkara hukum yang melibatkan kepala daerah,” kata Direktur Eksekutif Pattiro Sad Dian Utomo dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (20-5).
Sad Dian mengatakan, tahap pertama adalah aparat penegak hukum harus memperoleh persetujuan tertulis dari presiden tatkala akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah, yang tertuang pada Pasal 36 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemda. Tahap kedua, aparat penegak hukum harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden tatkala akan melakukan penahanan terhadap tersangka kepala daerah yang tertuang dalam Pasal 36 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004.
“Nampaknya, dengan benteng berlapis tersebut, kepala daerah menjadi nyaman dan merasa aman untuk melakukan berbagai tindakan yang melanggar hukum. Seperti tindak korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan/atau pencucian uang,” kata Sad Dian.
Sad Dian menilai kenyamanan kepala daerah ini akan dipertahankan oleh pemerintah, karena Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004 tersebut tetap dipertahankan dalam Rancangan UU Pemda yang dibahas bersama DPR saat ini. Sad Dian mengatakan, pasal 75 RUU Pemda memiliki materi muatan yang sama persis dengan Pasal 36 UU No 32 Tahun 2004, dengan sedikit perubahan.
Perubahan terjadi pada penghilangan kata “penyelidikan” dan menambahkan dua ayat tentang (i). Instansi penegak hukum yang berhak mengajukan permohonan persetujuan tertulis kepada presiden; dan (ii). Kewenangan memberikan pertimbangan oleh Menteri kepada Presiden.
Sad Dian mengemukakan, melalui Putusan Nomor 73/PUU-IX/2011, MK telah menyatakan, menetapkan bahwa persetujuan tertulis dari Presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan kepala daerah tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup, sehingga menyatakan Pasal 36 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 inkonstitusional, sehingga tidak lagi memiliki kekuatan mengikat secara hukum.
Di samping itu, lanjut Sad Dian, MK menerima secara bersyarat Pasal 36 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004, yakni menerima adanya persetujuan tertulis dari presiden untuk penahanan terhadap kepala daerah, dengan batas waktu 30 hari, mengurangi jumlah hari yang sebelumnya mencapai 60 hari. Sad Dian menjelaskan, menurut MK, persyaratan persetujuan tertulis presiden atas proses penyelidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang dimanfaatkan untuk menghapus jejak kejahatan atau penghilangan barang bukti.
Demikian pula persyaratan persetujuan tertulis presiden untuk penyidikan, dinilai menghambat proses hukum, yang seharusnya cepat, sederhana, dan berbiaya ringan dan tidak menghalangi aparat menjalankankan tugasnya, kata Sad Dian.
Pattiro mendorong DPR dan pemerintah melakukan beberapa hal, pertama mengubah substansi redaksional dari Pasal 75 RUU Pemda atau Paragraf Ketujuh, mengenai Tindakan Penyidikan terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan menghapus substansi pasal dan ayat yang telah dinyatakan “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat” dan “bertentangan dengan UUD 1945” oleh MK. (ANT/L-1) (dikutip dari lampungpost.co Edisi Selasa, 21 Mei 2013, http://lampost.co/berita/ruu-pemda-dinilai-hambat-pemberantasan-korupsi)